Selasa, 04 Maret 2014

Hujanmu Telah Turun


Hujanmu Telah Turun

Selasa, 11 Februari 2014

Ada genangan duka menyumbat nafasku, saat ku pegang dan rangkul dadamu. Ku kecup penuh cinta dahi dan tanganmu, tidak ada keraguan dalam berharap saat ku luapkan kerinduan. Berharap kau menebar senyuman di depan retina mataku layaknya dulu.
Sayang
, di mana tawamu? Di balik peluhmu-kah? Jika benar, akan segera ku usap. Rasanya, hanya jiwa kita yang mampu bercakap di ruang penat itu.
Tidak ada suara lain yang bisa memotong suara hati kita. Masih ingatkah? Ketika mulutku merapat tepat di depan telinga kananmu. Menyerukan lafadz cinta-Nya dan aku berusaha melawan kakunya lisan dalam menjeritkan rindu, kau pun berusaha membalasnya dengan air mata. Aku yakin sayang, kau kuat, tapi tak tahan ingin menyajikan senyuman hangat untukku, aku yakin kau merindukan saat kita bersama.
Pernah aku merasa geram padamu, saat kau hanya bisa diam ketika tangan dan mulutku agresif memancing emosimu. Rasanya kehadiran ini tidak ada istimewanya bagimu.
Tapi eratnya pegangan tanganmu meleburkan semuanya. Kau tidak ingin aku pergi kan? Karena itu aku mengokohkan raga yang lemah di sampingmu. Kau tidak ingin aku diam kan? Karena itu aku mengecup luapan peluh di dahimu. Peluh jihad seorang mujahid dalam mengarungi samudera kesabarannya. Tidak ada yang  perlu kau sesalkan sayang, kau telah berhasil merakit perahu ilmu dan mengarungi bersamanya.
Jika turunnya hujan isyarat akhir perjuanganmu, aku rela mengantarkan hujan itu di atas tanah suci. Tanah yang kini menjadi istana megahmu. Jadikan ini sebagai ibrah, tanah adalah asal kita dan tanah pula tempat terakhir yang pasti.
Dan sebuah kehormatan bagiku mampu mengecup tanganmu di pelepasan nafas terakhirmu.
Kini tugasku sudah selesai, walau sebenarnya aku masih ragu atas semua perlakuanku padamu. Tapi aku tahu semuanya, semua yang terjadi di ruang penat itu, ada perjuangan seorang lelaki gagah tampak melawan kelemahannya, dan kini kau berakhir dalam kemenangan. Kau pun meninggalkan semua kenangan dunia dengan akhir senyuman. Lekat dalam ingatanku, wajah berserimu melambai mengucap salam perpisahan.
Diiringi keringat, air mata, darah, dan hembusan nafas terakhirmu menjadi cendera mata dalam mengarungi samudera kesabaran, aku hanya bisa mengantarkanmu sampai dermaga ini saja, selebihnya hanya kau dan Alloh yang akan melanjutkan pelayaran mengarungi lautan amal, dan berlabuh di samudera kebebasan, akhirat-Nya…

Penuh cinta, adikmu.Tiktik Siti Mukarromah

0 komentar:

Posting Komentar